Photobucket Photobucket SELAMAT DATANG DI WWW.EKARAHAYU.TK SEMOGA BERMANFAAT BAGI SEMUANYA BACA JUGA BLOG SAYA YANG LAIN KLIK DISINI

Apa Yang Anda Cari Ada Disini

Loading

Jumat, 22 Mei 2009

Masalah BBLR Di Indonesia

Secara global dikemukakan bahwa selama tahun 2000, terdapat 4 juta kematian neonatus (3 juta kematian neonatal dini dan 1 juta kematian neonatal lanjut). Hampir 99% kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Kematian tertinggi di Afrika (88 per seribu kelahiran), sedangkan di Asia angka kematian perinatal mendekati 66 bayi dari 1000 kelahiran hidup. Bayi Kurang Bulan dan Berat Lahir Rendah adalah satu dari tiga penyakit utama kematian neonatus tersebut.1


            BBLR telah didefinisikan oleh WHO sebagai bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. Definisi ini didasarkan pada hasil observasi epidemiologi yang membuktikan bahwa bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram mempunyai kontribusi terhadap outcome kesehatan yang buruk. Menurunkan insiden BBLR hingga sepertiganya menjadi salah satu tujuan utama “A World Fit for Children” hingga tahun 2010 sesuai deklarasi dan rencana kerja United Nations General Assembly Special Session on Children in 2002. 2
Lebih dari 20 juta bayi diseluruh dunia (15,5%) dari seluruh kelahiran, merupakan BBLR, 95,6% diantaranya merupakan bayi yang dilahirkan di negara-negara sedang berkembang.2 Menurut Ibrahim (1997) insidensi BBLR di Asia adalah 22%.
Di Indonesia, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per 1000 kelahiran hidup. Dalam 1 tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal. Artinya setiap 6 menit ada 1 (satu) neonatus meninggal. Penyebab utama kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 29%. Insidensi BBLR di Rumah Sakit di Indonesia berkisar 20%. Di pusat rujukan regional Jawa Barat setiap tahunnya antara 20 – 25% kelahiran BBLR, sedangkan di daerah pedesaan / rural 10,5%. Di daerah rural sebagian besar BBLR meninggal dalam masa neonatal. Sementara di level II di tingkat kabupaten di Jawa Barat sebagian besar Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) dengan berat lahir <>3
Di Propinsi Jawa Timur, BBLR masih menjadi penyebab kematian neonatal tertinggi pada tahun 2001 sebesar 36,23% dan 2002 sebesar 34,72%. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002 dari 232 kasus kematian neonatal sebesar 78,88% merupakan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan pada tahun 2003, 62,87% dari 307 kasus kematian neonatal merupakan BBLR, dengan infeksi sebagai penyebab kematian BBLR tertinggi sebesar 25,68% di tahun 2002 dan 37,31% di tahun 2003 disusul asfiksia, prematuritas, gangguan napas dan kelainan kongenital. Risiko kematian BBLR 10x lipat dibanding bayi normal. Resiko akan semakin bertambah jika bayi semakin kecil dan immatur
Di negara maju mortalitas dan morbiditas neonatus menurun sejalan dengan meningkatnya perhatian terhadap ibu hamil dan pemanfaatan pelayanan intensif neonatus dengan risiko. Perawatan semacam ini dikenal dengan Perawatan tingkat 3 ( Level III) dimana pelayanan neonatus dilakukan secara komprehensif baik perawatan medik maupun bedah. Pelayanan tersebut meliputi perawatan bayi berisiko khususnya Bayi Kurang Bulan (BKB) baik dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) biasa, Bayi Berat Lahir Amat Rendah (Very Low Birth Weight-VLBW) ataupun Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (Extremely LBW). Perawatan level III ini mencakup pula pelayanan dengan berbagai tindakan medik, bedah serta pelayanan subspesialistik sehingga perawatan neonatus dapat dilakukan secara komprehensif.
Pada BKB dan BBLR perawatan level III dilakukan pada semua bayi dengan berat lahir 1500 gram, masa gestasi <>5 Bayi-bayi ini masih merupakan masalah tersendiri dan belum dapat terpecahkan. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mortalitas yang tinggi tetapi juga karena morbiditas yang beragam.
Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran saat ini banyak membantu menurunkan angka kematian bayi berat lahir 1200 – 1500 gram sampai mencapai 5%. Demikian pula angka kematian dengan berat lahir > 700 gram yang tadinya berkisar antara 50 – 90% saat ini menurun menjadi 10 – 50%. Bila ditinjau dari umur kehamilan, bayi dengan masa gestasi 32 – 34 minggu ke atas mempunyai angka kematian yang tidak banyak berbeda dengan bayi cukup bulan. Angka kematian yang masih tetap tinggi adalah angka kematian pada bayi dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. (York J, Devoe M. Health Issues in Survivors of Prematurity. South Med J 95 (9) : 969-876,2002). Dalam tabel 1 terlihat secara rinci mortalitas BKB dan BBLR yang dilaporkan York (2002) berdasarkan usia kehamilan dan berat badan lahir.
Usia Kehamilan (mgg)
Mortalitas (%)
Berat Badan (g)
Tabel 1.
Angka kematian menurut usia kehamilan dan berat badan
23
24
26
28
30
> 97
50-90
10-50
5-10
<5
500
700
900
1100
1350
Dalam penelitiannya di Australia, Doyle dkk (1999) melaporkan dari 2475 bayi lahir hidup dengan usia kehamilan antara 23 – 36 minggu ditemukan angka kematian 4,8% (118 dari 2475 bayi). Sebagian besar kematian tersebut terjadi pada bayi dengan usia kehamilan dibawah 31 minggu. Angka kematian bayi usia kehamilan di atas 31 minggu tidak berbeda dengan kematian bayi cukup bulan. Selanjutnya dikemukakan 75% kematian bayi kurang bulan tersebut disebabkan kelainan bawaan berat (lethal kongenital anomalies) sedang sisanya karena asfiksia perinatal, sepsis dan komplikasi prematuritas lain termasuk perdarahan paru dan perdarahan intrakranial.5(dr. asril)
Walaupun angka kematian BBLR kurang bulan memperlihatkan perbaikan yang bermakna, tetapi pasien tidak luput dari berbagai komplikasi. Dalam kepustakaan dikenal masalah disfungsi multiorgan yang terjadi akibat infeksi dan hipoksia yang timbul karena komplikasi berbagai morbiditas neonatus. Kejadian ini sering terlihat pada bayi yang dirawat di unit perawatan intensif neonatus. Disfungsi multiorgan ini harus selalu diantisipasi secara aktif agar dapat dideteksi dan koreksi sedini mungkin. Selanjutnya pemantauan jangka panjang perlu pula dilakukan karena komplikasi tadi dapat bermasalah selama proses pertumbuhan bayi bahkan berdampak sampai dewasa. Morbiditas yang berkepanjangan tersebut memerlukan pelayanan kesehatan yang terus menerus agar kehidupan tumbuh kembang dapat berlangsung lebih optimal.


SEBAB DAN KONSEKUENSI BBLR
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia masa kehamilan. BBLR bisa terdiri atas BBLR kurang bulan atau bayi lahir prematur dan BBLR cukup bulan/ lebih bulan dengan hambatan pertumbuhan intrauterin (IUGR). BBLR kurang bulan / premature khususnya yang masa kehamilannya <>2,3 biasanya mengalami penyulit seperti gangguan nafas, ikterus, infeksi dan lain sebagainya, yang apabila tidak dikelola sesuai dengan standard pelayanan medis akan berakibat fatal. Sementara BBLR yang cukup/ lebih bulan umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam perawatannya.
Penyebab BBLR sangat kompleks. BBLR dapat disebabkan oleh kehamilan kurang bulan, bayi kecil untuk masa kehamilan atau kombinasi keduanya.
Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum umur kehamilan 37 minggu. Sebagian bayi kurang bulan belum siap hidup diluar kandungan dan mendapatkan kesulitan untuk mulai bernapas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga tubuhnya agar tetap hangat.
Anemia gizi besi merupakan masalah gizi yang paling banyak dijumpai pada kelompok ini. Sekitar sepertiga remaja dan WUS menderita anemia gizi besi dan berlanjut pada masa kehamilan. Anemia gizi besi dijumpai pada 40 % ibu hamil. Kekurangan Energi Kronis (KEK) dijumpai pada WUS usia 15-49 tahun yang ditandai dengan proporsi LILA <> menurun menjadi 16.7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun
pada kelompok umur lebih tua, kondisi ini memprihatinkan mengingat WUS dengan risiko KEK cenderung melahirkan bayi BBLR yang akhirnya akan menghambat pertumbuhan pada anak usia balita.
Terdapat banyak penyebab ketidakaturan pertumbuhan intera uteri, dan efek mereka terhadap janin bervariasi sesuai dengan cara dan lama terpapar serta tahap pertumbuhan janin saat penyebab tersebut terjadi. Walaupun setiap organ dapat dipengaruhi oleh retardasi pertumbuhan intrauteri, efeknya pada tiap organ tidak sama. Jika retardasi pertumbuhan terjadi pada akhir kehamilan, pertumbuhan jantung, otak, dan tulang rangka tampak paling sedikit terpengaruh, sedangkan ukuran hati, limpa dan timus sangat berkurang. 4,5 Keadaan klinis ini disebut retardasi pertumbuhan asimetri dan biasa terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh wanita penderita hipertensi kehamilan (preeklamsia). Sebaliknya, jika gangguan terjadi pada awal kehamilan (30% semua bayi KMK) tampak pertumbuhan otak dan tulang rangka yang kurang seimbang. Keadaan klinis ini disebut retardasi pertumbuhan simetri dan seringkali berkaitan dengan hasil akhir perkembangan syaraf yang buruk.

Penyebab retardasi pertumbuhan intrauteri yang paling akhir ditemukan adalah penyalahgunaan kokain selama kehamilan.7,8 Obat dengan mudah masuk plasenta sehingga konsentrasinya dalam darah janin sama dengan konsentrasi ibu. Kokain adalah suatu stimulant Sistem Syaraf Pusat (SSP) dan menghambat konduksi saraf perifer. Konduksi saraf perifer yang terbatas diakibatkan oleh hambatan pengambilan kembali neurotransmitter seperti noradrenalin dan dopamine. Selanjutnya, konsentrasi neurotransmitter-neurotransmitter ini dalam serum meningkat dan secara efektif menyebabkan vasokonstriksi, takikardia, dan hipertensi baik pada ibu maupun janin. Efek berbahaya kokain terhadap kehamilan yang meliputi tingginya tingkat aborsi pada trimester pertama, solusio plasenta, dan prematuritas, merupakan akibat kenaikan konsentrasi bahan-bahan neurotransmitter. Bersamaan dengan vasokonstriksi fetomaternal yang menyeluruh, terjadi vasokontriksi hebat lapisan uteroplasenta. Hal ini membatasi penyediaan oksigen dan nutrisi bagi janin. Akibatnya adalah tingkat retardasi pertumbuhan janin yang lebih tinggi (IUGR), lingkar kepala yang lebih kecil (mikrosefali), dan panjang badan kurang diantara bayi-bayi dengan ibu pecandu kokain dibandingkan bayi-bayi dengan ibu bebas obat
Telah dikatakan BBLR merupakan Indikator kesehatan yang sangat penting bagi kesehatan tahun-tahun berikutnya. Pada masa balita sering dinyatakan sebagai masa kritis dalam rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode 2 tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal. Gambaran keadaan gizi balita diawali dengan cukup banyaknya bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Setiap tahun, diperkirakan ada 350 000 bayi dengan berat lahir rendah di bawah 2500 gram, sebagai salah satu penyebab utama tingginya kurang gizi pada dan kematian balita. Tahun 2003 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 27,5%, kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1989 yaitu sebesar 37,5%, atau terjadi penurunan sebesar 10 % (Susenas 2003).
Tingginya bayi BBLR dan gizi kurang pada balita akan berdampak pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Lebih dari sepertiga (36.1%) anak Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah, dan hal ini merupakan indikasi gangguan kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin meningkat dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki- laki maupun perempuan. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, peningkatan status gizi yang terjadi hanya sedikit sekali yaitu dari 39,8% menjadi 36,1%.
Upaya menurunkan angka kejadian dan angka kematian BBLR akibat komplikasi seperti Asfiksia, Infeksi, Hipotermia, Hiperbilirubinemia yang masih tinggi terus dilangsungkan melalui berbagai kegiatan termasuk pelatihan tenaga-tenaga profesional kesehatan yang berkaitan. Dalam hal ini Departemen Kesehatan RI dan Unit Kerja Kelompok Perinatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Perinatologi IDAI) bekerjasama dengan beberapa Dinas Kesehatan Propinsi telah menyelenggarakan pelatihan manajemen BBLR bagi bidan, dokter serta dokter spesialis anak menurut tahapannya.
Di Jawa Timur sendiri telah secara intensif melakukan kegiatan pelatihan terhadap para profesional kesehatan. Para tenaga yang terlatih Manajemen BBLR di Propinsi Jawa Timur dalam kurun waktu hampir dua tahun (2006-2007) telah mencakup : Dokter Spesialis Anak : 38 orang (18,36%); Dokter Puskesmas : 76 orang (5,32%) dan Bidan : 76 orang (0,72%). Melihat prosentase yang masih jauh dari jumlah keseluruhan tenaga profesional di Jawa Timur tentunya pelatihan-pelatihan manajemen BBLR di masa mendatang masih akan terus dibutuhkan.

Prevalensi kejadian BBLR di Jawa Timur dapat dilihat pada tabel berikut :
BBLR
2002
2003
2004
2005
2006
Jumlah
6014
5935
5797
5671
7099
Prevalensi (%)
1.07
1.05
1.02
1.26
1.55
% BBLR yang ditangani
100
100
100
100
100


Kelangsungan Hidup BKB/BBLR pasca rawat intensif




Gangguan Tumbuh Kembang
Pada BKB dan BBLR, walaupun berbagai upaya dapat dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup bayi, tetapi dampak jangka panjang khususnya pada bayi yang terlalu kecil, masih belum dapat terpecahkan dengan tuntas. Kemajuan teknologi kedokteran dan perawatan bayi secara intensif telah banyak membantu meningkatkan kelangsungan hidup bayi kurang bulan khususnya bayi usia kehamilan <>
Dalam tabel 5 terlihat bahwa peningkatan kejadian kelainan saraf pusat pada BKB/ BBLR sejalan dengan rendahnya berat lahir. Dari bahasan di atas dapat dipahami perawatan bayi BKB masih dihadapkan pada berbagai kendala yang belum dapat terpecahkan. Memperpanjang kehdiupan dalam rahim, khusus bila bayi terlalu kecil, tampaknya sampai saat ini masih merupakan jalan yang paling aman agar bayi dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Dalam dasawarsa terakhir ini terdapat suatu konsep menarik dari kelompok bayi IUGR yang disebut Hipotesis Barker. Hipotesis ini dikenal dengan hipotesis : Fetal Origin of Adult Disease Hypothesis. Barker adalah dokter peneliti di RS Southampton, Inggris. Berdasarkan hipotesisnya, bahwa gangguan pertumbuhan dalam rahim mempunyai pengaruh negatif terhadap perkembangan system kardiovaskular serta berkaitan dengan kejadian penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, resistensi insulin, hiperkolesterolemia, dan hiperurikemia pada masa dewasa.
Dari berbagai penelitian akhri-akhri ini baik di Negara maju maupun Negara berkembang telah dilaporkan bahwa hipertensi pada orang dewasa berhubungan dengan berbagai keadaan bayi berat lahir rendah seperti :
  1. Terdapat tendensi meningkatnya tekanan darah dengan menurunnya berat lahir
  2. BBLR, terutama bila disertai akselerasi berat badan pada masa anak, mempunyai risiko peningkatan hipertensi pada waktu dewasa
  3. Hubungan tersebut tidak berbeda pada pasien pria atau wanita
Hubungan tersebut diatas juga ditemukan antara berat lahir dan penyakit jantung koroner. Pada beberapa penelitian disimpulkan bahwa risiko PJK terjadi bila terdapat gangguan pertumbuhan selam masa janin dan masa bayi atau terjadi akselerasi terlalu cepat dari berat badan pada masa anak. Pengamatan lebih lanjut terlihat bahwa pada makrosomia (berat lahir terlalu besar), kejadian PJK juga meningkat.
Demikian pula hubungan gangguan pertumbuhan dalam rahim, menimbulkan pula risiko penyakit lain seperti Diabetes Mellitus (DM). Berdasarkan pengamatan ditemukan kejadian DM yang meningkat dengan menurunnnya berat lahir, panjang lahir, index ponderal dan berat placenta.
Dengan melihat kenyataan di atas, maka implikasinya akan cukup luas, mengingat kejadian BBLR dan premature di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di Negara maju.
Ringkasan
Bayi berat lahir rendah merupakan salah satu dari tiga penyebab utama kematian neonatal di Indonesia. Makin rendah masa gestasi dan berat lahir bayi makin tinggi angka kematian bayi. Kehidupan bayi biasanya berakhir di ruang perawatan intensif neonatus sebagai akibat berbagai morbiditas neonatus.
Berbagai upaya dibidang pendidikan dan kemajuan teknologi telah diterapkan guna mempertahankan kelangsungan hidup BBLR dari berbagai tingkat perawatan. Meskipun kelangsungan hidup dapat dipertahankan, gangguan jangka pendek maupun jangka panjang masih sering ditemukan akibat komplikasi perawatan intensif ataupun karena morbiditas diderita. Pemantauan aktif dan terus menerus pada BKB/BBLR yang dirawat atau pasca rawat di Unit perawatan intensif perlu dilakukan secara ketat. Hal ini sangat bermanfaat agar diagnosa dan tatalaksana dini dapat ditegakkan sehignga tumbuh kembang bayi selanjutnya dapat berjalan optimal.

Tidak ada komentar:

ARTIKEL TERKAIT


Kirim Komentar Anda Disini