Photobucket Photobucket SELAMAT DATANG DI WWW.EKARAHAYU.TK SEMOGA BERMANFAAT BAGI SEMUANYA BACA JUGA BLOG SAYA YANG LAIN KLIK DISINI

Apa Yang Anda Cari Ada Disini

Loading

Senin, 25 Juli 2011

Kontroversi Pemberian Nutrisi pada Bayi Prematur

Dalam dua dasawarsa akhir, terjadi pergeseran yang cukup bermakna mengenai fokus pemahaman pemberian nutrisi pada bayi prematur. Salahsatu alasan penting yang mendasari adanya perubahan ini adalah semakin terkumpulnya bukti-bukti ilmiah bahwa pemberian nutrisi awal post-natal mempunyai dampak biologis tidak hanya semata sebagai pemenuhan kebutuhan hidup bayi saat itu saja, melainkan yang tidak kalah penting adalah pengaruh jangka panjang terhadap kualitas pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun kognitif. Namun demikian, sebagian besar riset tentang nutrisi post-natal untuk bayi prematur belum sepenuhnya dapat diterapkan secara klinis praktis, mengingat metodologi penelitiannya masih terfokuskan pada tinjauan aspek-aspek fisiologis dan epidemiologis. Untuk dapat diterapkan secara definitif secara klinis masih dibutuhkan evaluasi manajemen nutrisional yang lebih spesifik tentang resiko jangka pendek (safety) maupun keuntungan jangka pendek dan jangka panjangnya (efficacy) dari penelitian intervensional yang bersifat randomized control.

[1] Elemen investigasi dimasa mendatang yang menjadi perhatian utama para ahli dibidang pediatric nutrition, secara perspektif klinis dan atau biologis, adalah adanya studi dampak nutrisi awal post-natal yang berpotensi mempengaruhi kualitas outcome jangka panjang. Penelitian dibidang ‘nutritional programming’ untuk bayi baru lahir, yang dimulai awal tahun 1980-an, menunjukkan bahwa nutrisi bayi prematur sangat berbeda dari segi content. Paling tidak selama kurun waktu 4 minggu awal kehidupannya, apabila bayi prematur hanya diberikan formula standart akan berada pada status nutrisi yang sub-optimal. Hal ini ternyata mempunyai dampak yang tidak menguntungkan pada aspek neurodevelopmental dikemudian hari. Salahsatu bukti ilmiah yang mendukung adalah pada bayi prematur yang mendapat ASI, apabila dibandingkan dengan yang mendapat susu formula, didapatkan peningkatan mineralisasi tulang pada 5 tahun kemudian. Penelitian ini masih dalam tahap penelusuran lebih lanjut sampai usia 9-12 tahun.

[2] Stimulus yang diberikan pada bayi selama periode kritis selama tahapan perkembangannya mempunyai pengaruh jangka panjang dan permanen dalam pembentukan struktur maupun fungsi tubuhnya.[3] Pada bayi aterm, adanya gangguan pertumbuhan pada beberapa bulan pertama post-natal akan berakibat penurunan development score sebesar 10 point saat usia 15 bulan.[4] Namun sampai saat ini belum ada studi komparatif mengenai hal ini untuk bayi-bayi prematur.
Studi intervensi nutritional pada bayi prematur membuktikan bahwa pertambahan berat badan pada bulan-bulan pertama post-natal mempunyai keterkaitan erat dengan maturasi fungsi kognitif dikemudian hari. Setiap penambahan berat badan 100 gram saat usia 9 bulan, akan terjadi kenaikan 0,3 points untuk IQ verbal dan 0,2 point untuk skor IQ membaca.

[3] Demikian pula kemungkinan dampak jangka panjang di bidang system imunitas dan penyakit-penyakit atopik yang lain, sampai saat ini masih dalam tahap evaluasi jangka panjang.
Pergeseran fokus pemahaman nutrisi bayi prematur ini mempunyai implikasi harus dapat menguak beberapa aspek dasar, antara lain: Aspek Biologis, bagaimana mekanisme kerja ‘early nutritional programming’, baik pada sistem antar organ yang terintegrasi maupun pada tingkat selular. Aspek Klinis, bagaimana safety dan efficacy jangka pendek maupun jangka panjang-nya secara klinis. Pemahaman kedua aspek ini akan meminimalisir kontroversi yang selama ini terjadi pada penerapannya secara klinis praktis.


NUTRISI DAN FEEDING BAYI PREMATUR (TREND MASA KINI)

Aspek pemenuhan nutrisi untuk bayi prematur sampai saat ini merupakan sebuah tantangan besar bagi neonatolog dan ahli gizi anak. Keinginan untuk meningkatkan survival bayi prematur dengan berat badan yang semakin rendah, sangat membutuhkan : a) manajemen nutrisi yang optimal untuk bayi prematur dengan BBLSR (VLBW) atau BBLASR (ELBW), yang berlandaskan bukti ilmiah dan pengalaman klinis. b). studi kontrol klinis jangka panjang mengenai safety dan efficacy.
Pemenuhan nutrisi yang optimal untuk bayi prematur memberikan kontribusi bermakna dalam hal proses pemulihan penyakit-penyakit masa neonatal, masa perawatan di rumah sakit, dan pemenuhan substrat-substrat biologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan otak dan jaringan saraf. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan normal bukanlah hal yang mudah bagi bayi prematur, mengingat adanya faktor imaturitas saluran cerna, hambatan-hambatan untuk proses adaptasi zat-zat metabolik dan adanya kondisi-kondisi patologis masa neonatal.
Rekomendasi besarnya intake nutrient baik enteral atau parenteral pada bayi prematur umumnya berdasarkan atas angka kebutuhan untuk dapat mencapai tingkat tumbuh kembang yang optimal. Selain itu harus dipertimbangkan juga resiko terjadinya keadaan patologis sebagai akibat defisiensi atau bahkan kelebihan nutrient tertentu. Informasi yang didukung bukti ilmiah mengenai tingkat kebutuhan nutrisi bayi prematur, terutama bayi BBLASR, sangat terbatas untuk beberapa nutrient spesifik. Kalaupun ada, maka rekomendasi tersebut umumnya berdasar atas kebutuhan populasi dan seringkali sulit diterapkan secara spesifik individual pada bayi prematur yang mengalami kondisi tertentu yang mengalami keterbatasan absorpsi / utilisasi nutrient dan atau intoleransi metabolik. Sehingga, pemberian nutrisi yang sesuai range rekomendasi pada satu bayi mungkin tidak dapat mencukupi tingkat kebutuhannya, dan sebaliknya pada bayi lain dapat berpotensi timbulnya efek toksik. Bayi prematur, baik yang BBLR, BBLSR atau BBLASR, mempunyai tingkat kebutuhan yang tidak homogen pada setiap kelompok berat badannya. Dengan demikian pemenuhan nutrisi haruslah bersifat individual dengan mempertimbangkan adanya factor-faktor : toleransi dalam hal feeding dan metabolik, kondisi patologis saat itu, tingkat kebutuhan spesifik yang terkait dengan tahapan perkembangan yang dialami bayi saat itu.
Tiga tahapan masa perkembangan post-natal yang harus dipertimbangkan sebagai dasar besarnya tingkat pemenuhan nutisi pada bayi prematur adalah :
1. Periode transisi (Lahir – usia 10 hari)
2. Periode pertumbuhan awal (usia 10 hari – saat keluar rumah sakit)
3. Periode setelah keluar rumah sakit (post discharge)


Nutrisi pada periode transisi ( Lahir - usia 10 hari )
Periode ini merupakan masa antara lahir sampai dimulainya proses penambahan berat badan bayi, umumnya terjadi pada hari ke 7 – 10 post natal. Pada periode ini ditandai dengan adanya resiko tinggi untuk mengalami ketidak seimbangan (overload atau defisit) cairan, elektrolit dan zat-zat metabolik. Masukan nutrisi diberikan secara kombinasi parenteral dan enteral. Tingkat kebutuhan nutrisi pada periode ini sangat bervariasi tergantung dari perbedaan maturitas bayi, variabilitas toleransi enteral dan adanya penyakit-penyakit masa neonatal. Konsekuensinya, selama periode ini tidak dapat dibuat rekomendasi yang berbasis bukti spesifik mengenai komposisi formula dan kapan saat yang tepat sebagai awal pemberian minum. Kesepakatan umum hanyalah dicapai untuk hal-hal yang terkait penundaan pemberian minum, antara lain pada bayi prematur yang mengalami : asfiksia perinatal, hipoksia atau hipotensi, dan yang membutuhkan pemasangan ventilator. Pada kelompok bayi-bayi ini mempunyai resiko tinggi untuk mengalami intoleransi feeding enteral dan NEC. Tujuan utama pemberian feeding selama periode ini adalah untuk mencukupi kebutuhan substrat energi untuk mencegah kehilangan berat badan dan mencegah terjadinya defisiensi vitamin dan atau mineral. Bayi prematur yang tidak mendapatkan intake energi, karbohidrat, protein, lemak dan mineral sesuai yang direkomendasikan, akan mempunyai resiko tinggi mengalami gagal tumbuh atau keterlambatan tumbuh kembang.[6]
Energi. Kalori yang direkomendasikan pada periode transisi ini adalah 60-70 Kcal/kgBB. Kalori sebesar ini hanya untuk mencukupi kebutuhan menjaga keseimbangan kehilangan energi, yang digunakan untuk : resting energy expenditure (45-55 kcal/kg), gerak dan termoregulasi (10-15 kcal/kg), dan pertumbuhan sel / jaringan (5-10 kcal/kg). Sehingga, pemberian kalori sebatas yang direkomendasikan ini tidaklah mencukupi untuk kebutuhan peningkatan berat badan bayi. Suplai energi dianjurkan melalui larutan konsentrat untuk memperpendek masa perawatan di rumah sakit.[7]
Glukosa. Suplai glukosa mempunyai peran yang sangat menentukan survival bayi, mengingat organ-organ vital seperti otak, jantung, hepar dan ginjal sangat tergantung adanya oksidasi glukosa. Bayi prematur mempunyai cadangan glikogen hati yang sangat terbatas. Suplai glukosa dari ibu ke janin akan terputus segera setelah bayi lahir, dan konsentrasi glukosa bayi akan mengalami penurunan. Selama beberapa jam post-natal, suplai glukosa bisa didapat dari cadangan glikogen yang terbatas. Cadangan energi yang berasal dari lemak dan protein juga sangat terbatas, dan akan habis dalam waktu 4-7 hari tergantung berat badan lahir dan derajat katabolisme yang terjadi. Pemberian glukosa parenteral 4-6 mg/kg/menit segera setelah lahir, selain berfungsi menurunkan resiko hipoglikemia namun juga dapat memenuhi kebutuhan energi untuk mencegah proses katabolisme otot lebih lanjut.[8] Beberapa bayi mungkin membutuhkan suplai lebih tinggi, 8-10 mg/kg/menit untuk dapat mempertahankan kadar glukosanya secara konstan. Hiperglikemia dapat terjadi apabila bayi mengalami stress atau toleransi metabolic yang berlebihan.[9] Alternatif untuk mencegah komplikasi ini, selain dengan menurunkan suplai karbohidrat, juga dengan penambahan asam amino parenteral atau pemberian insulin secara infus kontinyu.[10] Pemberian lipid 20% parenteral secara dini juga dapat membatasi penggunaan glukosa sebagai sumber energi. Bahkan pemberian feeding secara enteral dalam jumlah yang sedikit saja dapat memperbaiki toleransi glukosa dengan menstimulasi peptida-peptida dan hormon-hormon saluran cerna.[11]
Cairan. Pada periode transisi, bayi prematur mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuhnya. Umumnya semakin kecil bayi maka semakin besar kecenderungan untuk kehilangan cairan melalui proses evaporasi. Hal ini disebabkan karena struktur kulit yang imatur dan terbatasnya kemampuan ginjal untuk memproduksi urine. Manajemen cairan harus berlandaskan pada upaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan (insensible water losses) yang sangat bervariasi antara satu bayi dengan lainnya, dengan kebutuhan intake cairan bebas untuk proses ekskresi asam dan zat-zat terlarut lainnya. Kegagalan memenuhi kebutuhan kehilangan cairan akan menyebabkan dehidrasi, dengan efek sekunder mengalami hipernatremia, hiperkalemia dan hiperglikemia. Penggunaan inkubator atau infant warmer dalam jangka lama beresiko meningkatkan terjadinya komplikasi selama manajemen pemberian cairan.[12]
Asam amino dan Protein. Kebutuhan neonatus akan protein selalu mengalami re-estimasi sejak awal tahun 1900-an. Neonatus dapat menggunakan asam amino dengan sangat efisien untuk pembentukan protein dan proses pertumbuhan. Dibutuhkan intake protein sebesar 1,5-2 gr/kgBB/hari sejak hari pertama post-natal untuk mencegah katabolisme protein. Intake sebesar ini juga dapat mengurangi kehilangan nitrogen dan mempercepat terjadinya keseimbangan nitrogen positif. Pada periode transisi ini, bayi BBLSR membutuhkan intake protein 3,5 – 4 gr/kgBB/hari. Bayi prematur tidak hanya membutuhkan asam amino lebih tinggi dari bayi aterm, namun juga lebih membutuhkan asam-asam amino spesifik yang jarang dibutuhkan oleh bayi aterm. BBLSR tidak dapat membentuk asam amino sistein, taurin, tirosin, histidin dan arginin dalam jumlah yang mencukupi. Sehingga, pada bayi prematur asam-asam amino ini harus didapat melalui cara tertentu. Larutan asam amino yang berbahan dasar L-asam amino lebih sesuai untuk bayi prematur, karena pada aminogram plasma memberikan gambaran yang menyerupai gambaran aminogram plasma bayi-bayi yang mendapat feeding ASI.[13]
Semakin baik utilisasi protein maka semakin besar kenaikan berat badan yang dicapai dan semakin rendah resiko untuk terjadinya asidosis dan hiperammonemia. Pada bayi prematur < 34 minggu yang tidak mendapat feeding enteral selama satu minggu, harus dipertimbangkan penambahan asam amino sistein. Namun pemberian sistein Hcl pada usia 10 hari pertama akan meningkatkan resiko asidosis metabolik, sehingga untuk bayi BBLSR sampai usia 7-10 hari direkomendasikan mendapat supply sistein yang lebih rendah daripada rekomendasi untuk bayi normal.[14] Kontroversi tingkat kebutuhan protein bayi prematur membawa dampak sekunder terjadinya juga kontroversi dalam hal tingkat kebutuhan lemak. Lipid. Pemberian lipid secara parenteral merupakan sumber utama asam-asam lemak esensial, karena terbatasnya intake enteral saat itu. Sebagai sumber energi, lipid dapat mengurangi pengunaan glukosa dan menghasilkan produksi CO2 lebih rendah dibandingkan daripada pemecahan glukosa (oksidasi fat 1 mol menghasilkan 0,7 mols CO2 untuk setiap mol penggunaan oksigen; sementara glukosa menghasilkan 1.0). Saat ini telah tersedia sediaan lipid untuk neonatus dalam bentuk emulsi dengan emulsifier berbahan dasar utama fosfolipid kuning telur. Tebalnya jaringan lemak subkutan bukan hanya sebagai sumber cadangan energi utama, tetapi juga berfungsi untuk melindungi bayi terhadap stress akibat perubahan suhu dan trauma mekanis. Bayi prematur mempunyai keterbatasan dalam hal aktivitas enzym lipase lipoprotein endothelial , yakni enzym yang berperan melepaskan asam-asam lemak dan gliserol dari emulsi lipid. Ratio fosfolipid (PL) dan trigliserida (TG) yang tinggi menyebabkan menurunnya uptake partikel-partikel lipid oleh reseptor-reseptor lipoprotein di hepar, dan berakibat terjadinya intoleransi lemak. Oleh karena itu, lipid dalam bentuk emulsi harus mempunyai rasio PL/TG yang sesuai dan diberikan secara parenteral perlahan dalam kurun waktu 24 jam. Langkah ini akan mencegah terjadinya klearens trigliserida plasma yang berlebihan, dan uptake / utilisasi asam lemak pada tingkat selular. Apabila tidak diberikan dengan langkah demikian, maka akan terjadi peningkatan trigliserida plasma yang dapat berefek negatif pada proses difusi tingkat pulmonal, aktivitas fagosit leukosit PMN dan atau fungsi trombosit.[15] Cara Pemberian Nutrisi. Nutrisi parenteral awalnya hanya terbatas pada pemenuhan nutrient glukosa dan cairan saja. Sampai pada akhir 1960 dapat dihasilkan larutan asam amino dan emulsi lipid intravena mulai digunakan secara luas pada tahun 1980-an. Sebagian besar bayi prematur mempunyai saluran cerna yang masih imatur, sehingga support nutrisi lebih sering membutuhkan nutrisi parenteral total (TPN).[16] Walau demikian, TPN masih mengandung resiko untuk terjadinya infeksi, atrofi mukosa, kerusakan hepar dan kholestasis, serta osteopenia of prematurity akibat penggunaan TPN jangka lama. Sehingga, salah satu upaya support nutrisi pada bayi prematur adalah sedapat mungkin mempersingkat masa pemberian TPN dan mengupayakan pemberian nutrisi secara total enteral secepat mungkin. Pada periode transisi, memang TPN adalah sumber utama untuk pemenuhan nutrisi, dan harus segera dimulai paling tidak dalam 48 jam pertama setelah lahir. Feeding enteral dalam jumlah minimal dengan ASI yang diberikan melalui NGT adalah cara yang paling dianjurkan untuk mengawali dimulainya feeding enteral pada periode ini.[17] Colustrum yang diberikan dalam jumlah yang sangat minimal (1 cc setiap 2-4 jam) sedini mungkin, jelas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal. Namun pemberian sejumlah kecil colustrum dipandang mampu merangsang bekerjanya fungsi absorpsi dan digesti saluran cerna untuk mengawali strategi pemberian nutrisi enteral selanjutnya. Tujuan utama pemberian feeding di saat dini ini adalah untuk mencegah terjadinya atrofi mukosa saluran cerna, sehingga akan mempercepat bayi dapat menerima feeding enteral secara penuh. Namun demikian, bayi harus tetap dilakukan monitoring ketat untuk terjadinya efek yang tidak diinginkan terutama tanda-tanda awal terjadinya NEC, tidak tergantung strategi feeding yang digunakan. Nutrisi pada periode pertumbuhan awal ( usia 10 hari – saat keluar rumah sakit) Apabila bayi prematur secara klinis sudah cukup stabil dan dapat menerima feeding enteral secara penuh, maka pemberian nutrisi tahap selanjutnya adalah mengupayakan normalisasi komposisi tubuh untuk mengawali proses pertumbuhan. Intake energi, protein, cairan dan elektrolit diperlukan untuk pertumbuhan jaringan yang adekuat seiring dengan peningkatan berat badan. Energi yang adekuat untuk pertumbuhan membutuhkan keseimbangan energi yang positif, yakni adanya tambahan energi yang dibutuhkan untuk energy expenditure dan proses ekskresi fecal. Untuk setiap intake energi sebesar 3-5 kcal akan menghasilkan peningkatan berat badan 1 gram. Tergantung dari jaringan mana yang beratnya mengalami peningkatan, paling tidak 2-7 kcal energi untuk setiap 1 gram peningkatan beratnya berasal dari lemak. Pada bayi prematur BBLSR, apabila diinginkan peningkatan berat badan 15-20 gr/Kg/hari dibutuhkan tambahan energi 40-60 kcal dari energi yang diperlukan untuk metabolisme basal. Energi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan maintenance dan mengkompensasi kehilangan energi (melalui fecal dan termoregulasi), adalah sebesar 50-60 kcal/kgBB/hari. Sedangkan yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan sekitar 4 kcal/gr x 15-20 gr/kg/hari. Sehingga total dibutuhkan sekitar 110-140 kcal/kgBB/hari. Pada saat toleransi feeding enteral semakin membaik seiring dengan membaiknya kondisi klinis bayi, maka upaya selanjutnya adalah meningkatkan frekuensi dan volume feeding enteral secepat mungkin dengan selalu mewaspadai resiko bayi mengalami necrotizing enterocolitis (NEC). Pada periode ini, formula manakah yang paling tepat antara formula konsentrasi penuh atau yang diencerkan, masih menjadi hal yang kontroversial. Formula konsentrasi penuh mempunyai keuntungan dapat menginduksi maturitas motilitas saluran cerna lebih baik. Tingkat kecepatan penambahan volume yang diberikan juga masih kontroversi. Meskipun masih belum ditentukan secara definitif, namun peningkatan volume dengan range 10 – 35 cc/kg untuk sebuah formula dengan kandungan kalori 20 Kcal/Oz, dipandang cukup rasional. Dari dua studi kontrol random yang mencoba membandingkan antara peningkatan kecepatan volume batas bawah dan batas atas dari range tersebut, menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna.[18,19] Kedua limit angka ini sama-sama rasional asalkan bayi tetap dimonitor secara ketat terhadap kemungkinan munculnya tanda-tanda intoleransi. Apabila dijumpai jumlah retensi lambung > 20% dari volume feeding yang diberikan, dan atau dijumpai distensi abdomen, maka pemberian feeding enteral harus ditunda.
Kontroversi yang menyangkut kapan saat pertama bayi prematur mendapat feeding secara enteral telah merebak lebih dari setengah abad. Keputusan untuk menunda pemberian feeding enteral sampai beberapa hari post-natal didasari suatu pemikiran bahwa edema pada bayi prematur harus hilang terlebih dahulu sebelum dimulai feeding secara enteral.[20,21] Namun bayi prematur yang mendapat feeding enteral dini 12 jam pertama post-natal mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk mengalami hiperbilirubinemia dan hipoglikemia.[22] Pada beberapa tahun mendatang, diharapkan akan diketahui efikasi jangka panjang dari kebijakan ‘early feeding’ pada bayi –bayi prematur ini.
Bayi prematur mempunyai koordinasi menghisap, menelan dan bernafas yang belum sempurna, sehingga feeding enteral umumnya diberikan melalui nasogastric atau orogastric tube. Terdapat dua studi random kontrol yang membuktikan bahwa penggunaan selang nasogastrik dipandang lebih mudah pemasangannya, namun mempunyai efek yang lebih merugikan karena dapat mengganggu jalan nafas sehingga meningkatkan resiko untuk mengalami apnea.[23,24] Kontroversi juga menyangkut apakah feeding enteral diberikan secara bolus atau continues feeding. Pemberian secara kontinyu didasarkan atas pemikiran bahwa pemberian secara bolus mengakibatkan penuhnya lambung akan mengganggu mekanisme pernapasan. Namun hipotesis ini masih belum ditunjang bukti yang cukup.[25] Pada satu studi kontrol random terbukti pemberian secara bolus dapat ditoleransi dengan baik dan menghasilkan peningkatan berat badan lebih baik dibandingkan bayi yang diberikan feeding secara kontinyu.[17]
Tidak semua nutrient yang dibutuhkan oleh bayi prematur dapat dipenuhi dari ASI. Sejumlah protein, kalsium, fosfor, sodium, zinc, dan folat terkandung dalam ASI dalam jumlah yang rendah, sehingga harus diberikan dalam bentuk suplemen. Konsentrasi kalsium dan fosfor dalam ASI tidak mencukupi untuk dapat mencegah osteopenia pada saat bayi berada dalam tahap percepatan pertumbuhan. Beberapa ahli menyarankan penggunaan fortifier, dalam bentuk cairan atau bubuk, untuk memperkaya nutrient dalam ASI.
Kontroversi juga cukup tajam menyangkut perlunya penambahan asam-asam lemak esensial dan atau derivatnya. Dari beberapa asam lemak esensial, yang paling banyak diperdebatkan adalah docosahexaenoic acid (DHA) dan arachidonic acid (AA), yang keduanya dijumpai dalam jumlah lebih banyak pada jaringan otak dan retina. Umumnya, para ahli setuju dengan penambahan DHA dan AA pada formula bayi prematur. Kontroversi lebih terpusat pada apakah bayi aterm juga harus mendapatkan suplementasi keduanya seperti halnya pada bayi prematur?. Seiring dengan semakin diketahuinya kegunaan suplementasi DHA dan AA pada bayi prematur dalam hal peningkatan fungsi kognitif dan visual acuity, kekhawatiran akan adanya efek samping juga meningkat.[26] Walaupun sudah banyak otoritas gizi di seluruh dunia merekomendasikannya, namun efikasi jangka panjang penggunaan DHA dan AA ini masih terus diteliti sampai saat ini.

Nutrisi pada periode setelah keluar rumah sakit (post discharge)
Pada periode ini, nutrisi diberikan dalam bentuk apa yang dinamakan formula transisional. Formula ini mengandung nutrient dalam jumlah pertengahan antara tingkat kebutuhan bayi prematur dengan bayi aterm. Penggunaan formula yang diperkaya untuk bayi prematur sampai usia 9 bulan mempunyai efek yang baik untuk peningkatan berat badan dan pertumbuhan linear, dibandingkan dengan bayi prematur yang hanya mendapat formula standart bayi aterm.[27] Mineralisasi tulang saat usia 3 dan 9 bulan juga menunjukkan deposit mineral yang lebih besar pada bayi prematur yang mendapat formula diperkaya.[28] Sampai saat ini, problema formula khusus bayi prematur masih menjadi ajang kontroversi yang terus diteliti. Pertimbangan para ahli adalah harus tersedia formula yang paling tepat, khususnya untuk bayi BBLSR dan BBLASR, tidak hanya demi kepentingan mempertahankan hidup semata melainkan juga demi mencapai kualitas hidup yang terbaik.

Strategi pemberian nutrisi untuk pencegahan NEC
NEC merupakan komplikasi gastrointestinal tersering pada manajemen nutrisi bayi prematur (BBLLSR). Hampir 95% bayi yang mengalami NEC, adalah bayi-bayi yang mendapat feeding enteral. Hanya sedikit dari bayi-bayi tersebut mengalami NEC pada saat sebelum enteral feeding dimulai. Strategi pemberian nutrisi yang dapat menurunkan resiko terjadinya NEC dan mencapai toleransi feeding yang baik merupakan konsekuensi terpenting pada manajemen nutrisi bayi BBLSR.
Interaksi antara adanya infeksi, hipoksia , imaturitas saluran cerna dan feeding, merupakan faktor-faktor terpenting pemicu terjadinya NEC.[29] Substrat-substrat feeding yang tidak tercerna dan tidak terabsorbsi didalam saluran cerna dapat menghasilkan asam-asam organik dan makromolekul, serta memicu keluarnya radikal bebas (OxyR) dan bahan-bahan oksidatif yang kesemuanya berefek merusak integritas mukosa saluran cerna. Mekanisme dasar terjadinya NEC sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Namun diyakini beberapa mediator pro/anti-inflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6, IL-10, thromboxane (TBX), PAF, dan nitric oxide (NO), secara sinergis sangat berperan untuk mengaktifkan kaskade inflamasi yang berakibat rusaknya mekanisme perlindungan saluran cerna bayi prematur. Dengan demikian menjadi sangat rasional apabila strategi pemberian nutrisi bayi prematur untuk mencegah NEC adalah melakukan intervensi untuk memelihara integritas mukosa saluran cerna, yakni mengatasi hal-hal yang meliputi pencegahan hipoksia, infeksi, maldigesti nutrient, dan tunjangan perawatan klinis yang adekuat.
Strategi feeding yang bertujuan untuk memacu maturasi fungsi saluran cerna bayi prematur, dalam rangka untuk menurunkan resiko NEC meliputi :
1) Pemberian steroid pre-natal. Beberapa studi membuktikan pemberian steroid saat pre-natal menurunkan resiko terjadinya NEC. Steroid diduga mempunyai efek positif yang terkait dengan maturasi membran mikrovili, memacu aktivitas enzym disakaridase dan proteolitik, dan meningkatkan aktivitas asetilhidrolase (anti PAF).[30,31]
2) Minimal enteral feeding. Feeding minimal yang diberikan secara dini akan mencegah atrofi mukosa dan merangsang kerja hormon-hormon saluran cerna untuk kesiapan menerima feeding yang lebih banyak dikemudian hari. Masih banyak kontroversi untuk hal ini, terutama pada kasus bayi dibawah 1000 gram.
3) Pemberian ASI. Multiple kontrol studi telah membuktikan bahwa pemberian ASI pada bayi prematur akan menurunkan resiko NEC. Selain terbukti mengandung beberapa faktor yang dapat memacu maturasi saluran cerna, ASI mempunyai factor-faktor imunitas pasif seperti IgA dan makrofag, dan beberapa faktor anti-mikrobial spesifik seperti laktoferin dan lisosyme.
4) Pemberian antibiotika. Salah satu langkah intervensi untuk mencegah NEC adalah upaya menurunkan kolonisasi bakteri dan meningkatkan sistem pertahanan mukosa. Pemberian antibiotika oral akan menurunkan tingkat pertumbuhan bakteri, namun adanya kemungkinan terjadi resistensi menyebabkan alternatif ini tidak digunakan secara rutin untuk penggunaan jangka panjang. Resiko resistensi akibat antibiotika profilaksis ini tidak hanya mengenai populasi bayi yang beresiko NEC saja, tetapi mengenai seluruh populasi bayi. Sehingga langkah ini dipandang tidak selalu praktis. Pemberian eritomisin dikatakan berguna untuk memperbaiki aktivitas kontraksi saluran cerna bagian atas. Pemberian eritromisin dengan dosis 12,5 mg/kg/dosis setiap 6 jam pada bayi BBLSR cukup efektif untuk mempercepat waktu penerimaan feeding enteral bayi prematur dengan disfungsi motilitas saluran cerna, dibandingkan kelompok kontrol.[32]
5) Suplementasi probiotik. Alternatif lain untuk mengurangi kolonisasi bakteri patogen saluran cerna adalah dengan pemberian probiotik. Uji penggunaan probiotik pada binatang coba terbukti dapat menurunkan insidens NEC.[33,34] Namun efikasi probiotik untuk mencegah NEC pada bayi prematur masih kontroversi dan diperdebatkan sampai saat ini. Satu studi membuktikan pemberian probiotik campuran pada bayi yang dirawat di NICU akan menurunkan insidens NEC dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan probiotik.[35]
6) Suplemetentasi glutamin, arginin, asam nulkeat, nukleotida dan growth factors. Dasar pemikiran alternatif ini adalah rendahnya kadar glutamin dan atau arginin dapat melemahkan sistem imunitas, memicu atrofi mukosa,dan meningkatkan translokasi bakteri. Bayi BBLSR dengan NEC terbukti mempunyai kadar glutamin dan arginin yang rendah. Sampai saat ini, studi sistematik yang meneliti efikasi pemberian kedua asam amino ini masih dilakukan. Suplementasi L-arginin dalam nutrisi oral atau parenteral dilaporkan dapat menurunkan secara bermakna kasus NEC.[36] Bayi prematur BBLSR tidak mampu memproduksi nitric oxide (NO) dari arginin dalam jumlah yang cukup, karena rendahnya aktivitas enzym NO-synthetase. NO merupakan salah satu mediator anti-inflamasi dan vasodilator yang penting, yang mempunyai fungsi protektif pada mukosa saluran cerna. Dikarenakan masih adanya berbagai keterbatasan metodologi dan karakteristik sample uji pada studi-studi tersebut, menyebabkan validitas dan aplikasi klinis langkah alternatif ini masih menjadi perdebatan.



KESIMPULAN
Perkembangan ilmiah mengenai kebutuhan nutrisi bayi-bayi prematur saat ini terfokus pada pentingnya suplay nutrient sedini mungkin yang bertujuan tidak hanya untuk kepentingan survival, namun juga untuk proses pertumbuhan dan neurodevelopmental, serta jaminan kualitas hidup jangka panjang. Bukti ilmiah yang mendukung harus berdasarkan studi dengan setting randomized controlled trial dan meta-analisis, yang dapat menghindarkan dari kontroversi penerapannya secara klinis praktis.
Nutrisi dengan kalori yang mencukupi dan pemberian protein sedini mungkin selama periode transisi, harus sedapat mungkin diupayakan untuk mencegah berlanjutnya keadaan katabolik dengan segala konsekuensinya. Konsep ini didasarkan atas pendapat bahwa defisit nutrient secara kumulatif sangatlah sulit untuk diperbaiki, yang sangat mungkin mempunyai konsekuensi rendahnya peningkatan berat badan bayi dan kegagalan catch-up growth dikemudian hari.
Memacu maturitas struktur dan fungsi saluran cerna pada bayi prematur BBSLR merupakan langkah-langkah yang dipandang aman dan secara praktis sangatlah efektif dengan berbagai manfaatnya, seperti kemampuan toleransi feeding enteral menjadi lebih dini, memperpendek masa pemberian TPN, dan meningkatkan pertambahan berat badan. Meskipun TPN dipandang tidak berakibat meningkatkan resiko terjadinya NEC, namun resiko atrofi mukosa saluran cerna harus tetap dipertimbangkan. Sehingga feeding enteral harus diupayakan dapat diberikan sedini mungkin meski pada bayi BBLASR atau bayi yang sangat lemah kondisinya.
Sampai sejauh ini, ASI masih menjadi alternatif terbaik sebagai feeding pertama yang harus diterima bayi prematur, yang harus tetap di promosikan, difasilitasi dan dilindungi pemberiannya. Apaila pada keadaan tertentu ASI tidak bisa tersedia, maka alternatif feeding diberikan dalam bentuk formula khusus untuk bayi prematur. Formula ini dapat mensuplai energi 20kcal/oz, diberikan secara enteral bolus atau kontinyu tergantung dari toleransi individual bayi.
Ketika bayi dapat mencapai kondisi klinis yang stabil dan feeding enteral dapat ditoleransi secara penuh, maka perhatian harus dipusatkan pada upaya-upaya pemenuhan semua nutrient untuk memulai pertumbuhan awal dan mengembalikan komposisi tubuh bayi sedini mungkin. Pemberian ASI membutuhkan penambahan fortifier secara bertahap dan formula khusus bayi prematur ditingkatkan konsentrasinya sehingga dapat mencapai energi 24 kcal/oz. Pemberian feeding ini dipertahankan sampai bayi keluar dari rumah sakit dan dilakukan perawatan di rumah. Suplementasi dalam ASI dan pemberian formula khusus yang diperkaya mungkin tetap menjadi indikasi untuk diberikan setelah bayi keluar dari rumah sakit, untuk memperbaiki intake nutrient selama menghadapi masa-masa awal usia bayi.
Dibutuhkan suatu strategi khusus feeding yang bersifat preventif untuk mencegah resiko NEC dan meningkatkan kemampuan toleransi feeding dalam manajemen nutrisi pada bayi prematur. Kontroversi dalam bidang ini membutuhkan upaya-upaya adanya studi yang menyangkut strategi pemberian nutrisi neonatal yang aman, efektif, dan aplikatif secara individual, dengan berdasar pada tingkat keamanan maupun efikasinya untuk jangka panjang.

Tidak ada komentar:

ARTIKEL TERKAIT


Kirim Komentar Anda Disini