Photobucket Photobucket SELAMAT DATANG DI WWW.EKARAHAYU.TK SEMOGA BERMANFAAT BAGI SEMUANYA BACA JUGA BLOG SAYA YANG LAIN KLIK DISINI

Apa Yang Anda Cari Ada Disini

Loading

Jumat, 22 Mei 2009

Ayooo Imunisasi

IMUNISASI BCG


Infeksi Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar, angka kesakitan dan kematian akibat Tb dari tahun semakin meningkat. Biasanya penyebab kematian akibat penyakit ini adalah infeksi Tb berat yang salah satunya adalah meningitis Tb.
Meningitis Tb merupakan penyakit yang berbahaya, terutama pada bayi dan anak. Resiko kematin pada penderita sangat tinggi, atau bila penderita mengalami kesembuhan biasanya mengalami gejala sisa yang akan mengganggu fisik dan mungkin mental penderita seumur hidup. Karena resikonya yang fatal ini maka perlu vaksin yang dapat melindungi penderita dari meningitis TB.

Vaksin BCG

Vaksin BCG adalah vaksin bentuk beku kering yang mengandung bakteri Bacillus Calmette-Guerrin hidup yang dilemahkan, sebanyak 50.000-1.000.000 partikel/ dosis.
Vaksin disuntikkan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,05 mL dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun diberikan sebanyak 0,1 mL. Imunisasi vaksin BCG ini cukup diberikan satu kali saja, bila pemberian imunisasi ini “berhasil” maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan timbul benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas. Biasanya setelah suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam.
Reaksi yang akan nampak setelah penyuntikan imunisasi ini adalah berupa perubahan warna kulit pada tempat penyuntikan yang akan berubah menjadi pustula kemudian pecah menjadi ulkus, dan akhirnya menyembuh spontan dalam waktu 8 – 12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut. Reaksi lainnya adalah berupa pembesaran kelenjar ketiak atau daerah leher, bila diraba akan terasa padat dan bila ditekan tidak terasa sakit. Komplikasi yang dapat terjadi adalah berupa pembengkakan pada daerah tempat suntikan yang berisi cairan tetapi akan sembuh spontan.

Efek Samping Vaksin BCG

  1. Reaksi normal Bakteri BCG di tubuh bekerja dengan sangat lambat. Setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil merah di tempat penyuntikan dengan garis tengah 10 mm. Kemudian setelah 2-3 minggu, pembengkakan menjadi abses kecil yang kemudian menjadi luka dengan garis tengah 10 mm. Luka tersebut akan sembuh dengan sendirinya dan meninggalkan jaringan parut (scar) bergaris tengah 3-7 mm. Scar ini sangat berguna karena dapat menunjukkan bahwa anak tersebut telah mendapat imunisasi BCG. Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu agar tidak memberikan obat apapun pada luka dan membiarkan terbuka atau akan ditutup dengan menggunakan kain kasa kering.
  2. Reaksi berat Kadang-kadang terjadi peradangan setempat yang agak berat atau abses yang lebih dalam. Terkadang juga terjadi pembengkakan di kelenjar limfe pada leher atau ketiak. Ini mungkin disebabkan kesalahan penyuntikan yang terlalu dalam di bawah kulit, mungkin juga disebabkan dosis yang diberikan terlalu tinggi.
  3. Reaksi yang lebih cepat Jika anak sudah mempunyai kekebalan terhadap tuberculosis, proses pembengkakan mungkin terjadi lebih cepat dari 2 minggu. Ini berarti anak tersebut sudah mendapat imunisasi BCG atau kemungkinan anak tersebut telah terinfeksi TBC.

Kontra Indikasi. Adanya penyakit kulit yang berat atau menahun seperti eksim, furunkulosis dan sebagainya. (Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan RI)


TUJUAN

Pemberian vaksin BCG pada bayi, diharapkan dapat memberikan daya lindung atau kekebalan aktif terhadap penyakit TBC (Tuberkulosis) berat yang diantaranya adalah penyakit meningitis tuberkulosis.

KEBIJAKAN
  • Penentuan diagnosa penderita dilakukan melalui pemeriksaan dahak SPS dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen.
  • Bila pemeriksaan mikroskopik memberikan hasil negative, penderita dirujuk untuk pemeriksaan Ro ke Rumah Sakit.
  • Setiap penderita akan diberikan pengobatan sesuai dengan tipe dan klasifikasinya dengan menggunakan OAT Kat 1, Kat 2, Kat 3 dan sisipan.
  • Setiap penderita yang ditemukan harus mempunyai seorang PMO yang sebelumnya telah diberi penyuluhan tentang apa dan bagaimana penyakit Tb itu serta apa peran dan upaya PMO dalam menyembuhkan penderita.
  • Petugas kesehatan harus tetap mengunjungi Rumah Sakit penderita Tb yang sudah mendapat pengobatan untuk memonitor pemberian obat dan efek samping yang kemungkinan timbul. Selain itu juga untuk mengetahui pula adanya penderita kontak serumah.
  • Setiap penderita yang sudah mendapatkan pengobatan harus dilakukan pemantauan hasil pengobatannya melalui pemeriksaan dahak ulang pada akhir fase intensif, satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.

STRATEGI

• Meningkatkan kualitas pelayanan
• Mengembangkan pelaksanaan program di seluruh unit pelayanan kesehatan
• Meningkatkan kerjasama dengan semua pihak terkait
• Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat
• Melaksanakan desentralisasi melalui titik berat manajemen program di kabupaten atau kota
• Mengembangkan pelaksanaan program melalui penelitian

GAMBARAN SINGKAT PENYAKIT

  1. Penyebab Bayi atau anak yang tidak diberikan vaksin BCG (Bacillus Calmette Guirine) mempunyai resiko yang cukup besar untuk terinfeksi penyakit TBC, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (bakteri TB). Kuman Tuberkulosis adalah kuman berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat “Dormant”, tertidur lama selama beberapa tahun.
  2. EpidemiologiPatologi TB pada anak, dalam berbagai hal berbeda dengan pada orang dewasa karena kemungkinan komplikasi TB pada anak justru lebih luas. TB pada anak bisa berupa TB kulit, TB tulang sendi, tulang lutut, TB otak dan saraf, TB mata dan di organ lainnya. Sumber penularannya adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Terpaparnya pertama kali dengan kuman TB disebut infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus dan terus berjalan hingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Gejala klinik

Gejala umum (non spesifik) TB pada anak antara lain, berat badan turun tanpa sebab jelas atau tidak naik dalam sebulan walau dengan penanganan gizi, nafsu makan tidak ada, demam lama dan berulang tanpa sebab dapat disertai keringat malam, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, dan diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
Gejala spesifiknya sesuai organ yang terkena. TB tulang dan sendi misalnya, anak pincang atau tulang lututnya bengkak, pembengkakan sendi, sulit membungkuk. Sedangkan, TB otak dan saraf (meningitis) menimbulkan gejala kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun.

Penularan

Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau pada waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertulari pada waktu mereka melakukan otopsi, bronkoskopi atau pada waktu mereka melakukan intubasi.
Kontak jangka panjang dengan penderita TB menyebabkan risiko tertulari, infeksi melalui selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya karena minum susu yang tidak dipasteurisasi atau karena mengkonsumsi produk susu yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari sinus keluar discharge.

SASARAN DAN JENIS ANTIGEN
Sasaran. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12 bulan. Biasanya diberikan beberapa hari setelah bayi lahir atau sesudahnya. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja, untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit TBC.
Jenis antigen. Penyakit TBC disebabkan oleh jenis antigen bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis.

JADWAL PEMBERIAN IMUNISASI

Vaksin BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan, namun pemberian vaksin BCG (bacilius calmette guirine) pada anak-anak tidak bisa menjamin si anak akan bebas dari infeksi kuman penyebab penyakit tuberkulosis (TB), terutama pada anak yang kondisi kesehatannya buruk. Oleh sebab itu dianjurkan untuk melakukan vaksinasi kembali pada saat anak akan masuk sekolah.


IMUNISASI DPT


Penyakit difteria, pertusis, dan tetanus (DPT) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan bersama dengan WHO menetapkan vaksinasi DPT sebagai imunisasi wajib bagi balita secara nasional.

Vaksin DPT
Vaksin jerap DPT (Difteri, Pertussis, Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan, serta bakteri pertussis yang telah diinaktivasi dan teradsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi vaksin per dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertussis, 30 IU difteri dan 60 IU tetanus.

Efek Samping Vaksin DPT

  1. Panas Kebanyakan anak menderita panas pada sore hari setelah mendapat imunisasi DPT, tetapi panas ini akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas yang timbul lebih dari 1 hari sesudah pemberian DPT, bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT, mungkin ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih lanjut.
  2. Rasa sakit di daerah suntikanSebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak di tempat suntikan. Bila hal tersebut terjadi setelah suntikan berarti ini disebabkan oleh suntikan DPT. Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu sesudah imunisasi serta meyakinkan ibu bahwa keadaan itu tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan.
  3. PeradanganHal ini mungkin sebagai akibat dari: jarum suntik tidak steril, bisa karena tersentuh tangan atau sterilisasi kurang lama ataupun sebelum dipakai menyuntik jarum diletakkan di atas tempat yang tidak steril.
  4. Kejang-kejangAnak yang setelah pemberian vaksin DPT mengalami hal ini, tidak boleh diberi vaksin DPT lagi dan sebagai gantinya diberi DT saja. Kontra indikasi. Gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertussis. Anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertussis harus dihindarkan pada dosis kedua dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT. (Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan RI)

TUJUAN

Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin imunisasi DPT diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang beberapa penyakit tersebut.

KEBIJAKAN
Imunisasi DPT dasar diberikan pada umur 3 bulan sebanyak 3 kali dengan masa antara 4-6 minggu.

STRATEGI
• Meningkatkan kualitas pelayanan
• Mengembangkan pelaksanaan program di seluruh unit pelayanan kesehatan
• Meningkatkan kerjasama dengan semua pihak terkait
• Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat
• Melaksanakan desentralisasi melalui titik berat manajemen program di kabupaten atau kota
• Mengembangkan pelaksanaan program melalui penelitian

GAMBARAN SINGKAT PENYAKIT DIFTERI

  1. Penyebab :Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, merupakan bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan gejala demam tinggi, pembengkakan pada amandel (tonsil) dan terlihat selaput putih kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang dapat berakibat gagal jantung.
  2. Epidemiologi :Bakteri Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri akan menginfeksi saluran nafas, dengan masa inkubasinya adalah 2-4 hari. Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan gejala yang menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan melepaskan toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat penderita menjadi sangat lemah dan sakit. Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung sehingga penderita dapat meninggal secara mendadak.
  3. Penularan :Penularan umumnya melalui udara (batuk/ bersin) selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontamiasi.

PERTUSIS
  1. Penyebab :Penyakit Pertusis atau batuk rejan atau dikenal dengan “ Batuk Seratus Hari “ adalah penyakit infeksi saluran yang disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis.
  2. Epidemiologi :Tersebar di seluruh dunia. Di tempat-tempat yang padat penduduknya dapat berupa endemi pada anak. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Pertussis dapat mengenai semua golongan umur. Tidak ada kekebalan pasif dari ibu. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, lebih banyak laki-laki daripada wanita. Umur penderita termuda ialah 16 hari. Cara penularan ialah kontak dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis. Oleh karena itu di negara di mana imunisasi belum merupakan suatu prosedur rutin, masih banyak didapatkan pertussis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Dilaporkan terjadinya endemi pertussis di antara petugas rumah sakit yang sebelumnya telah mendapat imunisasi terhadap pertussis dan kemudian mendapat infeksi karena merawat penderita pertussis. Natural immunity berlangsung lama dan jarang didapatkan infeksi ulangan pertussis. Gejala khas pertussis, yaitu batuk yang terus menerus sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah, kadang-kadang bercampur darah. Batuk diakhiri dengan tarikan napas panjang dan dalam berbunyi melengking. Penularan umumnya terjadi melalui udara (batuk/ bersin). Pencegahan paling efektif adalah dengan melakukan imunisasi bersamaan dengan Tetanus dan Difteri sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan.
  3. Penularan :Melalui percikan-percikan ludah penderita waktu batuk dan bersin, saputangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut.

TETANUS

  1. Penyebab : Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistim urat syaraf dan otot. Penyebab penyakit ini ialah Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
  2. Epidemiologi : Toksin tetanospasmin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani, menempel pada urat syaraf di sekitar area luka dan dibawa ke sistem syaraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada aktivitas normal urat syaraf. Terutama pada syaraf yang mengirim pesan ke otot. Infeksi tetanus terjadi karena luka, entah karena terpotong, terbakar, aborsi, narkoba (misalnya memakai silet untuk memasukkan obat ke dalam kulit) maupun frosbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup di sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteria tetanus. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala yang mulai timbul di hari ketujuh. Dalam neonatal tetanus gejala mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Neonatal tetanus umumnya terjadi pada bayi yang baru lahir. Neonatal tetanus menyerang bayi yang baru lahir karena dilahirkan di tempat yang tidak bersih dan steril, terutama jika tali pusar terinfeksi. Neonatal tetanus dapat menyebabkan kematian pada bayi dan banyak terjadi di negara berkembang. Sedangkan di negara-negara maju, dimana kebersihan dan teknik melahirkan yang sudah maju tingkat kematian akibat infeksi tetanus dapat ditekan. Selain itu antibodi dari ibu kepada janin yang berada di dalam kandungan juga dapat mencegah infeksi tersebut. Apa yang menyebabkan infeksi tetanus? Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin.
  3. Penularan : Melalui tali pusat karena pertolongan persalinan yang tidak bersih/steril, melalui luka (tertusuk paku, beling) dll.

SASARAN DAN JENIS ANTIGEN

Sasaran. Imunisasi ini kepada bayi berumur di atas 3 bulan, anak usia 1-4 tahun serta ibu yang sedang hamil.

Jenis antigen

Difteri ....>bakteri Corynebacterium Diphteriae
Pertussis .....> bakteri Bordetella Pertusis
Tetanus .....>bakteri Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin

JADWAL PEMBERIAN IMUNISASI

Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha.

Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. I

munisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.



IMUNISASI POLIO


Sebelum program imunisasi polio dilaksanakan, polio merupakan penyakit endemis di Indonesia. Beberapa kejadian luar biasa polio terjadi di Biliton (1948), Bandanaire, Balikpapan, Jakarta dan Bandung (1951), Surabaya, Malang, Sidoarjo dan Tuban (1952), Semarang dan Yogyakarta (1954), Palu (1956), Bangka (1958), Bali (1976), Jawa Barat (1978,1980), Jawa Timur dan Kalimantan Tengah (1981) serta Irian Jaya (1982). Dengan pelaksanaan imunisasi polio (1981-2000) yang semakin baik, maka insiden penyakit polio cenderung turun dari tahun ke tahun. Tahun 1995 VPL (virus polio liar, bukan karena virus polio vaksin) ditemukan di 4 propinsi (Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur). Tahun 1996-2000 tidak ditemukan lagi adanya laporan virus polio liar.

Penemuan vaksin polio pertama pada tahun 1955 dalam bentuk suntikan IPV (Inactived Polio Vaccine) dan kemudian disusul dengan vaksin oral OPV (Oral Polio Vaccine) tahun 1961 dan eIPV (enhanced Inactived Polio Vaccine) yang dikembangkan oleh kelompok RIVM (Belanda). Sejak penemuan vaksin ini, imunisasi terhadap polio dilancarkan dan menjadi salah satu antigen yang wajib diberikan dalam imunisasi dasar rutin.

Imunisasi polio yang dilakukan secara rutin di beberapa negara telah menghasilkan penurunan kasus secara drastis, sehingga timbul pikiran untuk menghilangkan polio dari dunia. Adanya faktor-faktor biologik yang mendukung, antara lain manusia merupakan satu-satunya inang bagi virus polio dan adanya vaksin yang dapat diandalkan, menimbulkan gagasan untuk mengebalkan semua manusia dan menghentikan transmisi penyakit.

Imunisasi polio dimulai dari upaya imunisasi pasif dengan menggunakan serum konvalesen penderita untuk mengobati kasus polio akut. Imunisasi aktif mulai dicoba, setelah berbagai upaya imunisasi pasif gagal. Percobaan dimulai dengan memberikan adonan corda spinalis berisi virus pada kera untuk melihat apakah resipen mampu bertahan terhadap paparan virus atau tidak. Penelitian berikutnya berkembang menjadi dua arah yaitu inaktifasi virus dengan menggunakan fenol / formalin atau virus dilemahkan dengan cara melakukan pasasi berulang pada kultur jaringan. Kedua cara menghasilkan dua macam vaksin yaitu yang pertama adalah IPV dan disusul dengan OPV. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan angka kesakitan akibat virus polio, namun harus dipilih vaksin mana yang lebih baik untuk memberantas penyakitnya. Kriteria vaksin tersebut adalah vaksin harus antigenik, proporsi vaksin trivalen harus sesuai dengan virus liar yang ada di lingkungan, replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV mengandung vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan berbiak dalam usus. Imunisasi cara ini tidak hanya membentuk antibodi humoral yang menahan virus polio menimbulkan infeksi di SSP, namun juga merangsang secretory IgA, antibodi sekretori yang mencegah perlekatan dan replikasi virus di epitel usus. Virus vaksin dapat bertahan sampai 17 bulan setelah imunisasi dan pada anak dengan agammaglobulinemia, bahkan dapat bereplikasi terus sampai 684 hari. Masa replikatif untuk virus liar belum diketahui. Secara patogenik, pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah replikasi virus di sel epitel dan mencegah diseminasi dari saluran pencernaan ke SSP. Pengikatan virus polio liar oleh antibodi antipolio akan mencegah infeksi SSP, sehingga tidak terjadi manifestasi klinik polio, termasuk kelumpuhan. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang tinggi, namun karena tidak menimbulkan kekebalan intestinal yang cukup, sehingga IPV tidak mampu menghentikan transmisi.

Ada dua jenis vaksin polio, vaksin polio oral yang ditemukan Albert Sabin dan vaksin polio yang dinonaktifkan yang dikembangkan Jonas Salk.

  1. VAKSIN POLIO ORAL (OPV) Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg. Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang akan masuk. Pemberian Air Susu Ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan memberikan perlindungan jangka panjang. Virus polio ini dapat bertahan di tinja hingga 6 minggu setelah pemberian vaksin melalui mulut. Anak yang telah mendapatkan imunisasi OPV dapat memberikan pengeluaran virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru di imunisasi harus menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.
  2. VAKSIN POLIO YANG TIDAK AKTIF (IPV) Di Indonesia, meskipun sudah tersedia tetapi Vaksin Polio Inactivated atau Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV) belum banyak digunakan. IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah. Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid. Selain itu dalam jumlah sedikit terdapat neomisin, streptomisin dan polimiksin B. IPV harus disimpan pada suhu 2 – 8 0C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam 4 kali berturut-turut dalam jarak 2 bulan.Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV. Demikian pula bila ada seorang kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk menggunakan IPV.Sejak tahun 1997 American Academy of Pediatric (AAP) dan Centers For Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat merekomendasikan pemberian IPV untuk vaksinasi rutin pada semua bayi di Amerika Serikat. Sejak itu dilaporkan Kejadian Ikutan Paska Imunsasi Polio sangat menurun. Efek samping. Umumnya tidak ada. Bila anak sedang diare ada kemungkinan vaksin tidak bekerja dengan baik karena ada gangguan penyerapan vaksin oleh usus akibat diare berat. Vaksin akan tetap diberikan kemudian dicoba mengulangi lagi 4 minggu setelah pemberian polio.Kontra indikasi. Pada individu yang menderita “Immune deficiency”, tidak ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian OPV pada anak yang sedang sakit. Sedangkan bagi individu yang terinfeksi oleh HIV baik yang tanpa gejala maupun dengan gejala, imunisasi OPV harus berdasarkan standar jadwal tertentu.


Keadaan yang tidak boleh divaksinasi OPV, antara lain:
  1. Penyakit akut atau demam (suhu lebih dari 38,5oC)
  2. Muntah atau diare
  3. Sedang menerima pengobatan kortikosteroid (imunosupresan) dan pengobatan radiasi umum (termasuk kontak penerima)
  4. Penyakit kanker atau keganasan (termasuk kontak penerima) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial (seperti limpoma, leukimia, penyakit hodgkin) dan anak dengan mekanisme imunologik yang terganggu misalnya hipogamaglobulinemia
  5. Penderita infeksi HIV atau AIDS (termasuk kontak penerima) “Menurut Advisory Commitees on Immunization Practices (ACIP) dan Commitees on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatric (AAP)”

TUJUAN
Pemberian vaksin Polio bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap virus polio dan mencegah penularannya. Oleh sebab itu dilaksanakanlah Program Eradikasi Polio Global, dengan maksud untuk menurunkan angka kejadian polio liar di seluruh belahan dunia.

KEBIJAKAN
Pada tahun 1980, Indonesia mulai menyelenggarakan kegiatan imunisasi polio terhadap anak sebelum berusia satu tahun dengan 2 tetes vaksin sebanyak 3 kali pemberian. Universal Child Immunization (UCI) di Indonesia, dengan cakupan 80% di setiap kabupaten/kota, tercapai pada tahun 1990 dan masih dipertahankan sampai sekarang.

STRATEGI
Strategi satu dengan strategi yang lain merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Gagalnya salah satu strategi akan berdampak pada gagalnya upaya eradikasi polio keseluruhannya.

Imunisasi Rutin

Adalah pemberian imunisasi polio (OPV) pada bayi sebayak 4 kali pemberian dengan 2 tetes vaksin Shabin setiap pemberiannya, sebelum bayi berusia satu tahun. Imunisasi rutin pasca PIN diharapkan dapat terus dipertahankan tinggi dan merata sampai tingkat desa (UCI desa).
Secara periodik 3 bulanan, petugas imunisasi Puskesmas melakukan identifikasi desa dengan cakupan imunisasi rendah (<80%) style="TEXT-ALIGN: justify">Kebanyakan orang yang terinfeksi virus polio memiliki sedikit gejala dan jika ada, biasanya hanya berjangka pendek, termasuk sakit kepala, kelelahan, demam, kaku leher, dan nyeri otot punggung. Jika sistem saraf telah terserang, dapat terjadi kelumpuhan permanen, biasanya pada tungkai dan pada sedikit kasus melibatkan otot-otot pernapasan, yang membutuhkan saluran pernapasan buatan. Jika tak tertolong, pasien dapat meninggal dunia. Bila Polio Menyerang Otot

Penularan Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut dan berkembang biak di tenggorokan dan usus. Transmisi virus dipermudah oleh sanitasi yang buruk, terutama adanya anak di bawah 2 tahun dan hygiene perorangan yang kurang dalam keluarga. Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring (saliva) atau tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi dari penularan langsung manusia ke manusia (fekal-oral atau oral-oral) pada waktu 3 hari sebelum dan sesudah masa prodromal. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun kemampuan hidup virus ini di lingkungan sangat terbatas.

SASARAN DAN JENIS ANTIGEN

Sasaran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Departemen Kesehatan, mengeluarkan rekomendasi pemberian Polio termasuk imunisasi yang diwajibkan atau masuk Pengembangan Program Imunisasi (PPI). Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomandasi WHO adalah diberikan kepada bayi sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang saat anak berusia 1½ tahun, 5 tahun dan usia 15 tahun atau sebelum meninggalkan sekolah. Dalam keadaan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio, maka dilakukan Mopping Up. Artinya, strategi untuk memberikan ulangan Polio pada semua anak di bawah usia 5 tahun di daerah tersebut meskipun imunisasi sebelumnya telah lengkap. Jenis antigen Penyakit polio disebabkan oleh jenis antigen virus, yaitu virus Polio yang terdiri dari 3 strain yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (Lanzig) dan strain 3 (Leon). Virus Polio ini termasuk genus Enteroviorus, famili Picornavirus. Diantara ke tiga strain tersebut, strain yang ke-3 paling sering menyebabkan wabah.



KONDISI YANG MENJADI HALANGAN IMUNISASI


Pada dasarnya, sedikit sekali kondisi yang menyebabkan imunisasi harus ditunda. Pilek, batuk, suhu sedikit meningkat, bukan halangan untuk imunisasi.


Kondisi dimana imunisasi tidak dapat diberikan


è Sakit berat dan akut; demam tinggi;
è Reaksi alergi yang berat atau reaksi anafilaktik;
è Bila anak menderita gangguan sistem imun berat (sedang menjalani terapi steroid jangka lama, HIV) tidak boleh diberi vaksin hidup (polio oral, MMR,BCG, cacar air).
è Alergi terhadap telur, hindari imunisasi influenza

Beberapa kondisi di bawah ini bukan halangan untuk imunisasi

§ Gangguan saluran napas atas atau gangguan saluran cerna ringan
§ Riwayat efek samping imunisasi dalam keluarga.
§ Riwayat kejang dalam keluarga.
§ Riwayat kejang demam
§ Riwayat penyakit infeksi terdahulu
§ Kontak dengan penderita suatu penyakit infeksi
§ Kelainan saraf menetap seperti palsi serebral, sindrom Down
§ Eksim dan kelainan lokal di kulit
§ Penyakit kronis (jantung, paru, penyakit metabolik)
§ Terapi antibiotika; terapi steroid topikal (terapi lokal, kulit, mata)
§ Riwayat kuning pada masa neonatus atau beberapa hari setelah lahir
§ Berat lahir rendah
§ Ibu si anak sedang hamil
§ Usia anak melebihi usia rekomendasi imunisasi





JADWAL IMUNISASI PROGRAM & NON PROGRAM


Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Periode 2004
(Revisi September 2003)

Vaksin
Umur pemberian Imunisasi
Bulan
Tahun
Lhr
1
2
3
4
5
6
9
12
15
18
2
3
5
6
10
12
Program Pengembangan Imunisasi (PPI, diwajibkan)
BCG

















Hepatitis B
1
2




3










Polio
0

1

2

3



4


5



DTP


1

2

3



4


5


6 dT atau TT
Campak







1






2


Program Pengembangan Imunisasi Non PPI (Non PPI, dianjurkan)
Hib


1

2

3


4






MMR









1




2


Tifoid











Ulangan, tiap 3 tahun
Hepatitis A











Diberikan 2x, interval
6 - 12bl
Varisela
















www.sehatgroup.web.id



Keterangan Jadwal Imunisasi IDAI, Periode 2004

Umur
Vaksin
Keterangan
Saat lahir
Hepatitis B-1




Polio-0
HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain).
1 bulan
Hepatitis B-2
Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.
0-2 bulan
BCG
BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2 bulan
DTP-1

Hib-1

Polio-1
DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)
Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.
Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1
4 bulan
DTP-2
Hib-2
Polio-2
DTP-2 (DTwP atau DTaP) dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T)
Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2
Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2
6 bulan
DTP-3
Hib-3
Polio-3
DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T)
Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.
Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3
6 bulan
Hepatitis B-3
HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
9 bulan
Campak-1
Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan, campak-2 tidak perlu diberikan
15-18 bulan
MMR

Hib-4
Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bln
Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
18 bulan
DTP-4
Polio-4
DTP-4 (DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.
Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-5
2 tahun
Hepatitis A
Vaksin HepA direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan.
2-3 tahun
Tifoid
Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.
5 tahun
DTP-5
Polio-5
DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DTap)
Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5
6 tahun
MMR
Diberikan untuk catch-up imunization pada anak yang belum mendapat MMR-1
10 tahun
dT/TT

Varisela
Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25 tahun.
Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.






ARTIKEL TERKAIT


Kirim Komentar Anda Disini