PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anemia atau kurang darah sering dikaitkan dengan kondisi lemah, letih, dan lesu akibat kurangnya kandungan zat besi di dalam darah. Tak hanya pada orang dewasa, anak-anak bahkan balita pun bisa terkena anemia. Indonesia jumlah penderita anemia yang berasal dari kelompok anak usia sekolah (6–18 tahun) mencapai 65 juta jiwa. Bahkan, jika digabung dengan penderita anemia usia balita,remaja putri,ibu hamil, wanita usia subur, dan lansia, jumlah total mencapai 100 juta jiwa! ”Artinya, secara kasar bisa dikatakan bahwa satu di antara dua penduduk Indonesia menderita anemia.
Dalam survei KRT juga terlihat angka kejadian anemia lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Jika anemia terjadi pada anak perempuan, dampaknya tidak hanya bagi anak tersebut melainkan juga generasi selanjutnya. Ini mengingat anak perempuan tersebut kelak akan mengandung dan melahirkan.
Anemia bisa disebabkan kondisi tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah tinggi, seperti saat hamil,menyusui, masa pertumbuhan anak dan balita, serta masa puber. Atau ketika tubuh banyak kehilangan darah seperti saat menstruasi dan pada penderita wasir dan cacing tambang. Mereka yang menjalankan diet miskin zat besi atau pola makan yang kurang baik juga rentan anemia. Sebab lainnya adalah terjadinya gangguan penyerapan zat besi dalam tubuh.
Sebenarnya, anemia dapat dicegah dengan mudah. Namun karena masyarakat terlalu menggampangkan, dan menganggap hal itu hanya lemah, letih, dan lesu saja. Padahal, dampak dari anemia ini sangat fatal bahkan menyebabkan kematian bagi ibu hamil. Dan bila anak-anak terkena anemia, maka dapat mengakibatkan kerusakan sel otak secara permanen, gangguan perkembangan psikomotorik, memperlambat perkembangan kemampuan berfikir (kognitif) mereka.
A. HUBUNGAN ANEMIA DAN DAYA KOGNITIF
Anemia merupakan masalah kesehatan besar yang selama ini terabaikan. Padahal, ini bisa berdampak negatif pada kualitas SDM. Berdasarkan data, indeks pembangunan manusia Indonesia berada pada urutan terendah di ASEAN. Salah satu penyebabnya adalah prevalensi anemia yang tinggi pada Wanita. Bila jutaan ibu penderita anemia melahirkan bayi yang juga menderita anemia, maka yang akan terjadi jika tak dihentikan, adanya “rantai anemia” tak berkesudahan dan akan berdampak pada penurunan kualitas generasi penerus bangsa.
Menurut kriteria WHO, seseorang dinyatakan mengalami anemia bila kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 g/dl (anak usia <> 6 tahun dan wanita dewasa). Anemia bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak. Perkembangan berpikir juga bisa terganggu dan mudah terserang penyakit. Anemia bisa berakibat pada gangguan tumbuh kembang, gangguan kognitif (belajar) serta penurunan fungsi otot, aktivitas fisik dan daya tahan tubuh. ”Jika daya tahan tubuh menurun, maka risiko infeksi pun akan meningkat. Anemia bisa terjadi saat masih bayi. Bila ini terjadi, tentunya bisa berdampak pada prestasi mereka saat usia prasekolah dan sekolah. Akibatnya, bisa terjadi gangguan konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah dan kecerdasan intelektual (IQ) yang rendah, serta gangguan perilaku.
Setiap anak, tanpa memandang usia, jenis kelamin, agama dan status sosialnya berhak mendapatkan penghidupan yang layak, termasuk dalam hal kesehatan. Untuk menunjang tumbuh kembangnya, anak membutuhkan kasih sayang dan pemberian makanan bergizi. Anak bukanlah manusia dewasa berukuran kecil, jadi kebutuhannya juga berbeda. Perhatian lebih juga diperlukan ketika seorang anak memasuki masa emas atau titik-titik kritis tumbuh kembangnya, yaitu mulai usia 0–15 tahun.
Pada usia 0–2 tahun terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak yang pesat, yang akan menentukan kecerdasannya di kemudian hari. Memasuki masa remaja (usia 9–15 tahun), organ reproduksi anak mengalami proses pematangan dan terjadi perubahan hormonal yang bisa meningkatkan perilaku berisiko. Untuk memenuhi kebutuhannya, diperlukan investasi kesehatan, gizi dan pendidikan pada bayi, ibu dan balita. Ini penting, sebab kelak akan menentukan kualitas SDM suatu bangsa.
Seperlima dari dua puluh lima persen anak di dunia menderita defisiensi zat besi dalam kasus anemia yaitu kondisi dimana kurangnya zat besi yang menimbulkan masalah dengan sel darah mereka. Anemia adalah gejala kekurangan (defisiensi) sel darah merah karena kadar hemoglobin yang rendah. Kekurangan sel darah merah akan membahayakan tubuh. Sebab sel darah merah berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi dan oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh. Pada kadar yang normal, jumlah rata-rata sel darah merah/mm pada laki-laki adalah 5.200.000. Sedangkan pada wanita 4.700.000. Apabila seseorang mempunyai jumlah sel darah merah di bawah angka normal tersebut, berarti dia menderita anemia. Sebagai pemicu turunnya tingkat kognitif pada manusia.
Apabila dampak langsung dan tak langsung dari kekurangan unsur zat besi yang mengakibatkan terganggunya atau tertundanya perkembangan dasar otak maka dapat terjadi efek 'bola salju' (semakin lama semakin parah). Balita yang menerima nutrisi dengan kandungan unsur zat besi dengan tingkat yang rendah diberikan asupan makanan tambahan namun kadar besi tersebut tak dapat membuat kemampuan daya otak mereka ketingkat normal bahkan pada bayi-bayi yang didiagnosa anemia (kasus kekurangan zat besi yang sering terjadi). Para peneliti kemudian membandingkan 53 bayi dengan defisiensi (kekurangan) zat besi kronis dengan 132 bayi-bayi normal. Diantara anak-anak balita yang berasal dari keluarga dengan strata sosial menengah perbedaan kemampuan kognitifnya tidaklah tajam mulai dari masa bayi hingga mencapai usia remaja. Namun pada anak-anak balita dari keluarga dengan tingkat sosial rendah terlihat meningkatnya perbedaan ketidak-mampuan kognitif mereka seiring dengan pertambahan usia mulai dari angka 10 pada usia balita dan menjadi angka 25 pada usia 19 tahun.
B. BAGAIMANA TERJADINYA ANEMIA DAN DAYA KOGNITIF
Anemia adalah gejala kekurangan (defisiensi) sel darah merah karena kadar hemoglobin yang rendah. Kekurangan sel darah merah akan membahayakan tubuh. Sebab sel darah merah berfungsi sebagai sarana transportasi zat gizi dan oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh. Anemia pada anak bisa terjadi karena berkurangnya produksi sel darah merah, hilangnya sel darah merah akibat perdarahan serta adanya penghancuran sel darah merah atau hemolisis. Misalnya keracunan obat tertentu yang menyebabkan darah pecah sehingga kadar Hb menurun. Akibat anemia bisa berbeda-beda pada setiap tahap kehidupan. Pada anak, anemia bisa menghambat pertumbuhan fisik dan mentalnya. Pada masa remaja atau dewasa, anemia bisa menurunkan kemampuan dan konsentrasi serta gairah untuk beraktivitas. Sementara pada wanita hamil, anemia menyebabkan risiko pendarahan sebelum atau saat melahirkan, risiko bayi lahir dengan berat badan rendah atau prematur, cacat bawaan, dan cadangan zat besi bayi yang rendah.
Anemia yang terjadi pada anak-anak dapat menggangu proses tumbuh kembangnya. Bahkan perkembangan berpikir juga bisa terganggu dan mudah terserang penyakit. Anemia yang terjadi pada seseorang bisa muncul karena bawaan (kongenital), akut atau kronik, tidak berbahaya atau berbahaya menyangkut kehidupan, dan berat atau ganas. Menurunnya jumlah sel darah merah dalam tubuh juga bisa terjadi karena zat gizi besi digunakan untuk kepentingan lain (di luar untuk pembuatan sel darah merah). Hal ini terjadi, misalnya, akibat kekurangan asam lambung, penyakit pada sumsum tulang, kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan atau memproduksi sel-sel darah merah seperti asam folat, vitamin B12, dan lainnya.
Anemia bisa berakibat pada gangguan tumbuh kembang, gangguan kognitif (belajar) serta penurunan fungsi otot, aktivitas fisik dan daya tahan tubuh. Jika daya tahan tubuh menurun, maka risiko infeksi pun akan meningkat. Anemia bisa terjadi saat masih bayi. Bila ini terjadi, tentunya bisa berdampak pada prestasi mereka saat usia prasekolah dan sekolah. Akibatnya, bisa terjadi gangguan konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah dan kecerdasan intelektual (IQ) yang rendah, serta gangguan perilaku. Anemia membuat transfer oksigen yang memperlancar metabolisme sel-sel otak terhambat, metabolisme lemak mielin yang mempercepat hantar impuls saraf, perilaku, serta konsentrasi terganggu. Jika terkena anemia defisiensi gizi saat bayi, maka ketika memasuki prasekolah dan usia sekolah akan terganggu konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah rendah, tingkat kecerdasan lebih rendah dan gangguan perilaku.
Anemia dapat menyebabkan pertumbuhan tinggi dan berat badan dibawah normal, penurunan tingkat kecerdasan, dan gangguan pada system saraf serta otak. Anemia sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Anak perempuan lebih tinggi risikonya karena mengalami menstruasi. Ketika anak perempuan duduk di bangku SMA, mereka masih terancam anemia karena pada usia itu mulai sadar penampilan sehingga mulai menjalankan diet ketat. Hingga kini belum ada program pemerintah untuk menanggulangi anemia pada pelajar. Program pemerintah baru ditunjukkan pada ibu hamil agar tidak melahirkan anak yang anem
ANGKA PREVALENSI ANEMIA DAN TINGKAT INFEKSI
ANEMIA defisiensi besi (ADB) atau kekurangan zat besi merupakan masalah yang mendunia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 2004 menunjukkan ADB terjadi pada 39% balita dan 24% anak usia 5-11 tahun. Boleh jadi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004 yang menunjukkan tingginya kejadian anemia pada kelompok usia sekolah dan lebih sering terjadi pada wanita menjadi alarm bagi para orangtua. Sebab hasil dari SKRT 2004 itu menunjukkan angka persentase anemia defisiensi besi terjadi pada 39 persen balita dan 24 persen pada usia 5-11 tahun
Prevalensi anemia pada anak balita, yakni 337 per 1.000 anak laki-laki dan 492 per 1.000 anak perempuan. Prevalensi usia 5-14 tahun 428 per 1.000 anak lelaki, dan 492 per 1.000 anak perempuan. Di Indonesia, jumlah penderita anemia yang berasal dari kelompok anak usia sekolah (6-18 tahun) mencapai 65 juta jiwa. Andaikan angka itu digabung dengan penderita anemia usia balita, remaja putri, ibu hamil, wanita usia subur, dan lansia, jumlah total mencapai 100 juta jiwa. Secara umum bisa dikatakan bahwa satu di antara dua penduduk Indonesia menderita anemia. Kondisi itu tentu saja menggusarkan kita sebagai bangsa Indonesia sebab dengan tingginya angka prevalensi anemia menyebabkan Sumber Daya Manusia menurun.
Anemia atau kurang darah sering dikaitkan dengan kondisi lemah, letih, dan lesu akibat kurangnya kandungan zat besi di dalam darah. Tak hanya pada orang dewasa, anak-anak bahkan balita pun bisa terkena anemia. Bahkan, jika digabung dengan penderita anemia usia balita,remaja putri,ibu hamil, wanita usia subur, dan lansia, jumlah total mencapai 100 juta jiwa, Artinya, secara kasar bisa dikatakan bahwa satu di antara dua penduduk Indonesia menderita anemia.
DAMPAK ANEMIA DAN TINGKAT INFEKSI
Anemia merupakan penyakit akibat kekurangan sel darah merah di dalam tubuh. Kurangnya sel darah merah menyebabkan pengangkutan oksigen ke dalam tubuh mengalami hambatan. Oksigen diperlukan untuk mengolah makanan yang kita makan menjadi energi, sehingga sel-sel tubuh pun tidak bisa bekerja dengan baik. Tubuh juga tidak bisa mengganti sel-sel tubuh yang aus atau sudah tua dan saatnya harus diganti.
Pada anak-anak, anemia menyebabkan kurang berkonsentrasi karena kekurangan oksigen di dalam otaknya. Bila anak-anak tidak dapat berkonsentrasi akan berpengaruh pada prestasi belajarnya. Padahal, belum tentu anak itu bodoh, hanya saja kurang konsentrasi. Demikian juga para pekerja yang menderita anemia, kerjanya menjadi tidak maksimal karena sering sakit, sehingga produktivitas menurun. Anemia juga menyebabkan kita mudah sakit.
Sebagai dampak dari masalah anemia ini akan menurunkan kualitas generasi penerus. Berdasarkan data survei penduduk pada 2000 diperkirakan untuk seluruh golongan umur sekitar 100 juta penduduk terkena anemia. Berarti secara nasional Indonesia separuh penduduknya berisiko menderita anemia yang dapat mengakibatkan kualitas sumber daya manusia menjadi rendah, dan bukan sebagai aset bangsa melainkan sebagai beban bangsa. Konsekuensi anemia berdampak luas dan berpengaruh pada sumber daya manusia. Dampak anemi pada bayi dapat menyebabkan terlambatnya perkembangan psycho-motor dan berpengaruh terhadap perkembangan otak. Bila anak-anak terkena anemia, maka dapat mengakibatkan kerusakan sel otak secara permanen, gangguan perkembangan psikomotorik, memperlambat perkembangan kemampuan berfikir (kognitif) mereka. Akibatnya, anak-anak menjadi kurang berprestasi, mudah terserang penyakit dan mengalami pertumbuhan yang lamban. Jika ada balita yang menderita anemia, kemungkinan mereka sudah terkena sejak masih di dalam kandungan. Ibu yang mengandung mengalami anemia dan mempengaruhi janin. Untuk itu, asupan zat besi pada ibu hamil juga sangat penting. Anak-anak yang kena anemia , tubuhnya selalu terasa lemas dan tidak bersemangat. Akibatnya tak bisa bermain, apalagi belajar. Artinya kualitas hidupnya menurun. Selain itu anak juga mudah terserang sakit, flu, pilek, batuk, jantung, infeksi saluran nafas.
Jangan abaikan anemia, karena bisa berdampak pada banyak hal. Bisa menyebabkan kerusakan pada sel otak, dan membawa kematian pada ibu hamil.
Anemia diakibatkan rendahnya haemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Kita tahu, fungsi darah membawa makanan dan oksigen ke seluruh tubuh. Untuk ibu hamil, darah juga membawa makanan dan oksigen ke janin. Bila Hb dan eritrosit rendah mengakibatkan makanan dan oksigen yang masuk ke dalam tubuh kita, dan janin berkurang. Dampaknya, organ otak, dan organ penting lainnya pada janin terhambat. Otak kita terdapat 2,5 miliar sel bioneron. Sel-sel ini butuh oksigen, jika oksigen berkurang, sel inipun berkurang. Hal ini telah dibuktikan dengan pemeriksaan janin, pada ibu yang menderita anemia. Komputer yang berhasil menangkap memori janin, mencatat, memori janin dari ibu yang anemia lemah. Daya tangkap janin ini lambat, dan bisa menyebabkan kerusakan pada otak. Jika rusak, otak tak bisa diperbaiki.
CARA PENANGGULANGAN ANEMIA DAN DAYA KOGNITIF
Diagnosis dini diperlukan untuk menentukan pengobatan yang tepat. Kebanyakan orangtua terlambat membawa anaknya datang ke dokter, yaitu saat Hb-nya turun sampai 5-6 g/dl. Untuk mengetahui secara pasti apakah Anda dan keluarga anemia atau tidak dengan cara pemeriksaan haemoglobin dengan hemoque. Bila dari hasil pemeriksaan Hb menunjukkan angka 12 g/dl ke atas, artinya normal. Hb antara 10-12 g/dl, anemia ringan. Hb antara 8-10 g/dl anemia sedang. Hb antara 6-8 g/dl anemia berat. Hb di bawah 6 g/dl harus ditransfusi karena bisa fatal. Umumnya, orang tua tidak menyadari anaknya anemia karena terlihat biasa saja dan tidak seperti anak yang sakit. Anemia pada anak bisa terjadi karena berkurangnya produksi sel darah merah, hilangnya sel darah merah akibat perdarahan serta adanya penghancuran sel darah merah atau hemolisis. Misalnya keracunan obat tertentu yang menyebabkan darah pecah sehingga kadar Hb menurun.
Untuk mencegah terjadinya anemia dan Daya Kognitif di lakukan berbagai macam cara yaitu :
1. Peran serta orangtua sangat diperlukan.
Perhatian lebih juga diperlukan ketika seorang anak memasuki masa emas atau titik-titik kritis tumbuh kembangnya, yaitu mulai usia 0-15 tahun. Pada usia 0-2 tahun terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak yang pesat, yang akan menentukan kecerdasannya di kemudian hari.
2. Anemia harus segera ditangani dengan pemberian preparat zat besi dan mengatasi penyebabnya.
Gizi menjadi faktor utama dalam penanganan Anemia ini. Memasuki masa remaja (usia 9-15 tahun), organ reproduksi anak mengalami proses pematangan dan terjadi perubahan hormonal yang bisa meningkatkan perilaku berisiko. Untuk memenuhi kebutuhannya, diperlukan investasi kesehatan, gizi dan pendidikan pada bayi, ibu dan balita. Ini penting, sebab kelak akan menentukan kualitas SDM suatu bangsa.
3. Pencegahan untuk anemia, anak-anak usia kurang dari satu tahun disarankan mengonsumsi makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) yang kaya zat besi dan vitamin C. Untuk anak usia di atas satu tahun dianjurkan minum susu formula. Hal ini disertai skrining melalui terapi.Pada penderita anemia, perlu diberi preparat besi dan mengatasi penyebab gizi sebagai faktor utama. Pemberian preparat zat besi dengan cara oral dan lama pemberian sampai besi serum feritin normal.
4. Penyuluhan anemia kepada murid SD dalam rangka Kampanye Indonesia Bebas Anemia.
Kampanye ini, menjadi salah satu bentuk kepedulian Merck untuk mewujudkan anak sekolah bebas anemia. Cakupan program kampanye ini adalah 200 SD Negeri yang berada di Jakarta dan Bekasi dalam rentang waktu November 2006-Maret 2008. Hingga 24 Februari 2007, setidaknya telah dilakukan penyuluhan anemia ke-84 sekolah yang terdiri dari 21.261 murid, 866 guru, dan 10.448 orangtua murid.
5. Pemeriksaan Hb
Pemeriksaan Hb telah dilakukan di 32 sekolah. Jika setelah hasil pemeriksaan Hb diketahui terkena anemia, maka akan diberikan suplementasi zat besi selama 10 minggu. Kemudian dilakukan pemeriksaan Hb untuk mengetahui apakah pengobatan yang diberikan berhasil. Berdasarkan hasil pemeriksaan Hb di 17 sekolah dasar sampai Februari 2007 ditemukan bahwa prevalensi anemia sebesar 23,2% dengan kisaran 11,1%-50,9%. Penderita anemia lebih banyak ditemukan pada anak perempuan.
6. Peran serta sekolah dan guru
Sekolah dan guru berperan penting dalam upaya penanggulangan anemia karena siswa lebih patuh kepada guru. Program yang harus di laksanakan adalah supaya pengelola sekolah memberikan tablet zat besi dua kali seminggu selama tiga bulan untuk siswa yang anemia. Selain itu diberikan makanan bergizi di sekolah secara swadaya.
7. Upaya kesehatan berbasis sekolah juga bisa dilakukan melalui penyuluhan makanan sehat dan seimbang yang melibatkan orangtua siswa sehingga mereka bisa paham dan mau membuatkan atau memberikan makanan sehat bagi putra-putrinya di rumah. Pada hari di mana ada pelajaran olahraga, suruh anak membawa makanan dari rumahnya masing-masing. Setelah berolahraga dan mencuci tangan, mereka bisa Baling bertukar makanan dengan teman-temannya yang lain. Ini untuk mengajarkan anak agar mau makan makanan yang bervariasi, seperti tahu, tempe, ikan dan sayuran.
PENUTUP
Anak-anak yang tidak cukup mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi akan berisiko terkena anemia, karena tubuh mereka memerlukan lebih banyak zat besi untuk masa pertumbuhan. Anak dengan gangguan anemia dapat ditandai dengan tubuh yang lesu atau lemah, daya tahan menurun, serta mudah sakit (terutama terkena infeksi) sehingga badannya terus melemah, dan akhirnya tidak memiliki nafsu makan.
Anemia merupakan masalah nasional yang serius di Indonesia, mengingat dampaknya secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. untuk meningkatkan cadangan besi di dalam tubuh maka harus diperbaiki terlebih dahulu pola makan setiap harinya. Bila sumber makanan tidak cukup maka bisa mengonsumsi suplemen besi. Kita harus melihat sesuai dengan kebutuhan kita dan yang tahu adalah diri sendiri berapa kebutuhannya. Mengonsumsi suplemen besi ini seharusnya tidak dalam waktu singkat. Selama ini orang hanya minum ketika ada keluhan seperti pusing, lesu, lemah, lelah atau kurang konsentrasi. Ketika keluhan itu hilang maka ia berhenti minum pil besi. Apalagi bagi penderita anemia, minum pil besi harus teratur dan dalam jangka waktu panjang agar cadangan besi di dalam tubuh tercukupi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar